Premanisme Proyek Hambat Investasi, Ekonom Minta Presiden Bertindak

  • Premanisme hambat investasi: Tekanan ormas dan preman di proyek seperti PT Chandra Asri mengganggu iklim investasi.
  • Biaya investasi tinggi: Pungli dan ketidakpastian hukum membuat investasi di Indonesia jadi mahal dan tidak efisien.
  • Perlu tindakan tegas pemerintah: Presiden dan aparat penegak hukum harus turun tangan memberantas pungli dan menjaga kepastian hukum.

Sebuah video viral memperlihatkan perwakilan dari beberapa organisasi masyarakat dan pelaku usaha di Cilegon mendesak kontraktor asing dalam proyek pabrik PT Chandra Asri Alkali senilai lima triliun rupiah. Mereka menuntut agar pekerjaan diberikan langsung tanpa proses lelang. Video ini langsung memicu reaksi publik dan menimbulkan kekhawatiran terhadap iklim investasi di Indonesia.

Direktur Ekonomi Digital CELIOS, Nailul Huda, menilai kejadian tersebut sebagai bukti bahwa tekanan dari kelompok lokal terhadap investor masih sangat kuat. Menurutnya, hal ini menunjukkan masalah lama yang belum juga tuntas, yaitu lemahnya kepastian hukum dan kuatnya pengaruh kepentingan non-prosedural di lapangan.

Nailul menyebut bahwa biaya berinvestasi di Indonesia masih tergolong tinggi. Selain karena suku bunga yang belum turun secara signifikan, tindakan premanisme di proyek-proyek, baik yang termasuk dalam proyek strategis nasional maupun bukan, menambah beban bagi para investor.

Ia menegaskan bahwa perlindungan pemerintah terhadap proyek-proyek seperti ini masih lemah, dan menyerukan agar Presiden Prabowo turun tangan langsung untuk menangani situasi semacam ini.

Fenomena tekanan terhadap proyek besar oleh kelompok masyarakat bukan hal baru. Dalam dua puluh tahun terakhir, berbagai proyek industri besar di Indonesia sering kali menghadapi desakan dari organisasi lokal yang menuntut kompensasi atau pelibatan.

Nailul menjelaskan bahwa segala bentuk pungutan liar, baik yang dilakukan oleh preman maupun pejabat, adalah beban tambahan bagi investor. Beban ini merupakan biaya yang seharusnya tidak ada. Akibatnya, nilai Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia menjadi lebih tinggi dibandingkan negara tetangga. Untuk menciptakan satu rupiah produk domestik bruto, investasi yang dibutuhkan jauh lebih besar. Ini membuat ekonomi Indonesia menjadi tidak efisien, dan banyak investor akhirnya membatalkan niatnya berinvestasi ketika menghadapi praktik semacam ini.

Menurut Nailul, pemerintah seolah kalah oleh para preman.

Ia juga menekankan bahwa penegakan hukum harus diperkuat agar praktik pemerasan oleh oknum aparat maupun organisasi masyarakat bisa dihentikan. KPK, Kejaksaan, dan Polri perlu diperkuat untuk memberantas pungli di kalangan pejabat. Jika pungli dilakukan oleh preman atau ormas, maka aparat penegak hukum harus bertindak tegas sesuai aturan yang berlaku. Menurutnya, pemerasan sudah cukup menjadi dasar untuk membubarkan organisasi tersebut, kecuali aparatnya sendiri kalah menghadapi ormas.

Proyek pabrik Chandra Asri Alkali sendiri merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional berdasarkan Peraturan Presiden Nomor dua belas tahun dua ribu dua puluh lima tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional dua ribu dua puluh lima hingga dua ribu dua puluh sembilan. Nilai investasinya mencapai lima belas triliun rupiah. Pabrik ini akan memproduksi empat ratus ribu ton kaustik soda padat dan lima ratus ribu ton Ethylene Dichloride setiap tahun. Proyek ini mendukung program hilirisasi industri, mengurangi impor hingga empat koma sembilan triliun rupiah, dan berpotensi menghasilkan devisa ekspor sebesar lima triliun rupiah per tahun. Selama masa konstruksi, proyek ini menyerap tiga ribu tenaga kerja dan menciptakan dua ratus lima puluh pekerjaan tetap saat operasional. Kontribusinya diharapkan bisa mendorong pertumbuhan ekonomi hingga delapan persen sesuai target RPJMN.

Insiden di Cilegon ini menambah panjang daftar ketegangan antara sektor industri dan kelompok masyarakat lokal. Alih-alih mendorong kolaborasi berbasis nilai tambah dan daya saing, pendekatan intimidatif seperti ini justru mengancam iklim investasi dan merusak citra daerah di mata investor.