- AS menilai QRIS dan GPN sebagai hambatan perdagangan karena dianggap membatasi akses perusahaan asing, khususnya dari AS, dalam sistem pembayaran digital Indonesia.
- Bank Indonesia dinilai tidak melibatkan pemangku kepentingan internasional dalam proses penyusunan kebijakan QRIS dan menetapkan batas kepemilikan asing serta kewajiban kemitraan lokal dalam sistem GPN.
- Pemerintah Indonesia siap bernegosiasi dengan AS, dengan Menko Airlangga Hartarto menyebutkan bahwa QRIS dan GPN akan menjadi bagian dari pembahasan, bersama dengan paket ekonomi lain seperti perizinan impor dan insentif perpajakan.
Amerika Serikat (AS) menyoroti dua sistem pembayaran digital di Indonesia—QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) dan GPN (Gerbang Pembayaran Nasional)—yang dinilai bisa menghambat akses pelaku usaha AS dalam pasar domestik Indonesia. Isu ini menjadi salah satu perhatian utama dalam Laporan Hambatan Perdagangan Luar Negeri AS 2025 yang dirilis belum lama ini.
Dalam laporan tersebut, AS menyebut bahwa QRIS, yang dikembangkan oleh Bank Indonesia (BI), tidak cukup melibatkan pemangku kepentingan internasional, termasuk perusahaan-perusahaan asal AS. Mereka menilai, selama proses penyusunan kebijakan QRIS, tidak ada cukup ruang bagi pihak luar untuk memberikan masukan atau menyelaraskan sistem dengan standar global yang sudah ada.
“Perusahaan-perusahaan AS, termasuk penyedia jasa pembayaran dan bank, menyampaikan kekhawatiran bahwa selama proses penyusunan kebijakan QR oleh BI, mereka tidak diberi informasi ataupun kesempatan untuk menyampaikan pandangan,” tulis laporan itu, dikutip Sabtu (19/4).
Kritik serupa juga diarahkan ke GPN. AS menggarisbawahi bahwa seluruh transaksi ritel domestik menggunakan kartu debit dan kredit di Indonesia wajib diproses lewat institusi switching lokal yang memiliki izin dari BI. Kebijakan ini dinilai mempersulit keterlibatan perusahaan asing, apalagi mengingat adanya batas kepemilikan asing maksimum 20% dalam perusahaan switching GPN, sesuai dengan Peraturan BI No. 19/08/2017.
Lebih lanjut, Peraturan BI No. 19/10/PADG/2017 juga mewajibkan perusahaan asing menjalin kemitraan dengan penyedia switching lokal agar bisa ikut serta dalam memproses transaksi domestik. Namun, persetujuan atas kerja sama tersebut hanya diberikan jika mitra asing mendukung pengembangan industri dalam negeri, termasuk melalui transfer teknologi.
Pemerintah Indonesia Tanggapi dan Siap Negosiasi
Menanggapi sorotan dari AS ini, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyampaikan bahwa pemerintah terbuka untuk berdiskusi dan akan menjadikan QRIS dan GPN sebagai salah satu poin dalam agenda negosiasi dengan pemerintah AS.
“Kami sudah berkoordinasi dengan OJK dan Bank Indonesia, terutama terkait dengan payment yang diminta oleh pihak Amerika,” ujar Airlangga dalam konferensi pers terkait negosiasi antara Indonesia dan AS, Jumat (19/4).
Menurutnya, pemerintah juga sedang menyiapkan sejumlah paket ekonomi yang akan diajukan dalam proses negosiasi. Paket tersebut mencakup berbagai aspek, mulai dari perizinan impor melalui sistem Online Single Submission (API OSS), insentif perpajakan dan kepabeanan, kuota impor, hingga layanan di sektor keuangan.
Dengan membuka ruang dialog, pemerintah berharap bisa mencapai titik temu yang saling menguntungkan, tanpa mengabaikan kepentingan nasional di sektor pembayaran digital yang terus berkembang pesat.